Dalam 2
(dua) tulisan terdahulu telah dibahas tentang investasi saham untuk pemula dan
juga bagaimana memilih saham yang potensial. Apakah dengan memahami hal
mendasar tersebut, sudah memberi garansi bagi Anda untuk sukses dalam investasi
saham? Sama sekali tidak. Sehebat apa pun kemampuan dan pengetahuan Anda
tentang saham, tidak merupakan jaminan, kalau Anda membeli saham, pasti saham
tersebut akan mengalami kenaikan harga. Kenapa? Karena harga saham esok hari
adalah sebuah misteri. Karena harga tersebut belum terjadi. Tetapi, dengan
meningkatkan pengetahuan dan pengalaman dalam bermain saham, biasanya akan
memberikan "insting" bagi Anda untuk lebih memahami perilaku saham
dan pergerakan harganya. Oleh karena itu, paparan berikut akan melanjutkan
analisis perihal saham, khususnya bagaimana membentuk portofolio saham, lalu
mendeteksi perilaku terbentuknya harga dan momentum untuk membeli saham.
Pertama,
membentuk portofolio saham. Seperti konsep diversifikasi yang mengatakan jangan
pernah menaruh telur dalam satu keranjang, maka saham-saham yang akan Anda beli
juga mesti terdiri atas bermacam jenis dan juga bermacam tujuan. Artinya, jika
Anda memiliki dana Rp100 juta untuk berinvestasi saham, maka dana tersebut
mesti dibagi dulu, berapa yang akan dialokasikan untuk saham yang hendak
dipegang dalam jangka pendek atau trading serta jangka menengah panjang, dengan
harapan harga saham tersebut terus meningkat. Jika Anda tergolong pemula, ada
baiknya sebagian besar dana dipakai untuk membeli saham-saham yang berkategori
growth stock, atau saham-saham yang akan bertumbuh dalam jangka menengah
panjang.
Bagaimana
caranya? Belilah saham yang fundamental bagus tetapi harganya masih relatif
refidah. Memang saham jenis begini belum tentu akan mengalami perubahan harga secara
cepat, atau malah belum tentu banyak ditransaksikan, tetapi jika
"muatan" saham tersebut alias kinerja emiten cemerlang, biasanya akan
mengalami peningkatan harga menjelang RUPS (rapat umum pemegang saham) tahunan,
dan apalagi jika ada berita pembagian dividen kepada pemegang saham.
Yang
tergolong growth stock itu sendiri tidak mesti saham berkategori blue chip yang
harganya kebanyakan relatif mahal, tetapi juga saham-saham yang berada pada
kategori second liner alias saham lapis kedua, atau dengan kapitalisasi pasar
lebih rendah. Apa itu kapitalisasi pasar? Kapitalisasi pasar adalah hasil
perkalian harga saham dengan jumlah lembar saham yang diperdagangkan di pasar
modal. Bagi sebagian investor, kapitalisasi pasar dianggap tergolong besar,
jika angkanya berada di atas Rp2 triliun. Bagaimana dengan saham-saham yang
kapitalisasi pasarnya di bawah itu? Tidak masalah, tetap bisa dipilih sepanjang
tergolong growth stock. Kesimpulannya, portofolio saham yang hendak Anda bentuk
sebaiknya sebagian besar terdiri atas growth stock, misalnya 60-70 persen.
Sisanya adalah saham yang bisa Anda bell dan jual setiap saat sesuai pergerakan
harga di pasar. Dengan kata lain, Anda boleh menjadi "trader" namun
hanya mentraksaksikan 30-40 persen dari alokasi total dana Anda di pasar saham.
Kedua,
memilih saham untuk "trading". Seorang investor di pasar saham baru
akan merasakan denyut jantung pasar jika sudah melakukan perdagangan saham
secara sering. Artinya jual beli saham dengan mengambil kesempatan dari
pergerakan harga yang bisa terjadi dalam hitungan jam, hari, ataupun pekan.
Semakin sering melakukan transaksi, maka pemahaman investor terhadap perilaku
saham, khususnya pergerakan harga akan semakin dalam. Itu, sebabnya, kendati
Anda memilih menjadi growth investor ataupun value investor, tidak ada
salahnya, sedikit Jana Anda dipakai untuk melakukan trading saham. Tinggal
masalahnya bagaimana memilih saham yang akan dibeli dan kapan saham itu dibeli.
Untuk itu
tentu Anda pahami dulu karakteristik terbentuknya harga. Hal yang paling
mendasar adalah bid dan offer atau permintaan dan penawaran. Sama seperti jual
beli pasar di riil, saham juga merupakan sebuah "produk", ada yang
menjadi pihak pembeli dan pihak penjual. Dan pembeliannya juga dengan cara
tawar-menawar, hingga terbentuk harga untuk transaksinya. Sebutlah saham
"A", memiliki harga permintaan sebesar Rp300 per lembar dan penawaran
sebesar Rp310 per lembar. Artinya, peminat ingin membeli saham tersebut dengan
harga Rp300, namun penjual menawarkannya Rp310. Bagaimana harga yang terbentuk?
Bergantung jumlah peminat dibandingkan dengan jumlah penawar. Jika peminat
lebih besar, bisa jadi harga yang terbentuk untuk transaksi adalah Rp310.
Sebaliknya, jika penawar lebih besar jumlahnya, maka harga yang terjadi adalah di
Rp300. lnilah salah satu kunci untuk mendeteksi tendensi pergerakan harga dalam
perdagangan saham, yakni volume bid dan volume offer.
Kesalahan
yang dilakukan para pemula dalam bermain saham biasanya adalah tidak selalu
mencari informasi mengenai volume bid offer dari sebuah saham. Investor pemula,
biasanya hanya melihat pergerakan harga saham, dan ketika harga bergerak naik,
mereka ikut serta membeli dengan harapan harga naik terus. Padahal, harga akan
segera berubah, jika volume bid dan offer berubah. Oleh karena itu, sebelum
melakukan transaksi saham, Anda sebaiknya bertanya dulu kepada sales/pihak
sekuritas di mana Anda melakukan transaksi, berapa volume bid dan offer dari
saham tersebut. Jika volume permintaan lebih besar dari penawaran, harga berpeluang
naik. Demikian pula sebaliknya.
Itu baru
satu hal mendasar sederhana. Belum lagi soal jumlah pembelian Anda dibandingkan
dengan volume permintaan dan penawaran itu sendiri. Volume permintaan dan
penawaran mencerminkan "market likuiditas" dari saham. Kalau
volumenya besar, maka market likuiditasnya bagus. Ini sangat penting, sebab,
kalau Anda membeli saham yang market likuiditasnya kecil, sama saja Anda harus
menyimpan saham tersebut sepanjang masa. Apa maksudnya? Karena ketika Anda
hendak menjualnya kembali, belum tentu ada investor lain yang mau membeli. Oleh
karena itu, selain mengetahui lebih besar mana antara volume permintaan dan
penawaran, Anda juga mesti mencermati seberapa besar total volumenya.
Dalam praktiknya, sebagian besar investor yang
sudah piawai, biasanya akan mengalokasikan dana untuk membeli sebuah saham,
maksimal adalah 5 persen dari volume yang terbentuk. Misalnya, saham
"A", memiliki bid di harga Rp300, dengan volume 10.000 lot (5.000.600
lembar), maka Anda layak ikut serta menawar dengan volume sekitar 5 persen,
atau 500 lot saja. Kenapa? Karena Anda harus "berkelahi" dengan
peminat yang lain untuk mendapatkan saham tersebut. Jika jumlah yang Anda beli
semakin besar, semakin sulit juga mendapatkannya, apalagi jika volume penawaran
jauh di bawah volume permintaan. Selamat mencoba.